Saudaraku, misalkan kita di Palestina, apa yang akan kita lakukan?
Masihkah lagu-lagu terdengar merdu di tengah desing rudal yang menciutk
an nyalimu? Masihkah harapan berderet manis sepanjang jalan, menuntun langkah gamang kita menuju kebahagiaan?
Lalu, misalkan kita di Gaza, tegarkah kita menatap nyawa-nyawa terbang,
rumah-rumah tumbang? Atau sempatkah kita berpikir tentang rumah: Sedang
bukankah di sana sepanjang sejarah rumah-rumah seperti kemah?
Misalkan kita anak-anak Palestina, gemetarkah tangan kita menggenggam
batu--harapan terakhir kita untuk mempertahankan nyawa? Misalkan kita
adalah anak-anak itu, yang bersembunyi atau berlari, yang menangis atau
tak punya air mata lagi, kuatkah kita untuk tetap yakin bahwa Tuhan itu
ada dan masih mengasihi kita?
Di Palestina, ini bukan tentang
pertikaian agama, ini tentang sekelompok manusia yang gagal memanusiakan
manusia lainnya. Di sana, di tanah yang dijanjikan itu, barangkali ini
bukan sebatas luas wilayah atau sebuah tembok atau sebuah bangunan
tempat Tuhan pernah menyapa nabi-nabinya. Lebih dari semua itu: Ini
tentang penghinaan dan pengkhianatan pada kepercayaan Tuhan bahwa
manusia tak akan menjadi makhluk-makhluk yang mengalirkan darah
sesamanya--menyungaikan penderitaan dan kepedihan-kepedihan.
Di
Palestina, sementara anak-anak kehilangan orangtua sekaligus masa depan
mereka, batu-batu meluncur, rudal-rudal mendarat, dan langit jadi retak:
Menjelma senja yang baka, mengirimkan hujan abu mesiu!
Ah,
misalkan kita di Palestina, satu jam saja, menyaksikan segalanya dan
mengalami segalanya, akankah kita menyerah pada iman, kemudian meratap,
“Eli, Eli, lama sabakhtani? Tuhaku, Tuhanku, mengapa Kau tinggalkan
aku?” Sanggupkah kita teguh menyebut nama Tuhan, sementara kematian
ditodongkan hanya lima centimeter saja dari dahi kita? Demikianlah,
kesedihan, seperti tangis dan air mata, tak akan menghasilkan apa-apa!
Saudaraku, kita mungkin tak bisa menghentikan tank-tank baja, kita tak
bisa menahan laju peluru, kita tak bisa menguapkan serbuk mesiu. Tapi
lakukan apa saja, apa saja, apa saja yang kita bisa. Yang sedikit dari
kita, yang barangkali tak berarti bagi kita, siapa tahu menolong sebuah
nyawa: Saudara kita! Jika kau tetap tak bisa, berlindunglah pada
selemah-lemahnya iman: Doakan mereka!
Saudaraku, kita jelas tak
di Palestina, masihkah kita terus memperdebatkan muasal pertikaian?
Masihkah kita meperdebatkan peta yang memang tak pernah dibuat jelas
batasnya?
Meski kita tak di Palestina, kita harus ikut campur
pada takdir untuk menghentikan semua kebiadaban ini. Demi Tuhan dan
apapun saja: Mereka yang telah menginjak-injak kemanusiaan sesama,
siapapun mereka, dari manapun mereka, sekuat apapun mereka, harus kita
lawan!
Fahd Pahdepie