Serupa melakukan sujud, batu-bata runtukanlah
Sebab untuk dekat dengan Dia,”bersujudlah dan mendekatlah.”
Selama tembok menjulang pongah jumawa
Selama itu ia menjadi penghalang rebah kepala
Tidak mungkin bersujud pada Air Kehidupan
Sebelum melepaskan diri dari jasad kebumian
Potongan syair Rumi sangat bermakna. Rumi mengibaratkan Tuhan sebagai air kehidupan. Sungai kejernihan yang menjadi pelepas dahaga bagi yang haus. Untuk bisa meneguk sungai kejernihan itu maka seseorang harus mampu meruntuhkan tembok penghalang. Tembok penghalang tidak dapat runtuh kecuali seseorang melakukan sujud.
Masyarakat Arab dahulunya enggan diajak bersujud kepada Tuhan. Kepala adalah symbol kemuliaan yang tidak boleh ditempelkan di tempat yang rendah. Tanah adalah symbol kehinaan. Maka arti bersujud bagi mereka adalah menghinakan diri dengan melepaskan status kebangsawanan sebagaimana para budak. Kebiasaan budak adalah bersimpuh sujud di hadapan tuannya. Maka orang-orang Arab lebih memilih berpaling dari ajakan Rasulullah daripada melepaskan baju kesombongan. Tembok penghalang dalam syair di atas adalah kesombongan. Semakin tinggi menjulang kesombongan maka sama artinya membangun tembok penghalang yang semakin menjauhkan seseorang dari air kehidupan. Maka kehidupan mereka yang menjaga kesombongan akan senantiasa kehausan.
Sekalipun di dalam al-Quran tidak ditemukan kata-kata yang berarti Tuhan membenci, tapi akan ditemukan beberapa padanan kata yang semakna: Allah tidak mencintai. Allah tidak mencintai orang yang melampaui batas(Q.S al-Baqarah:190), Allah tidak mencintai Allah tidak mencintai orang yang berlebih-lebihan(Q.S al-A‘raf:31), Allah tidak mencintai orang yang zalim(Q.S Ali Imran:140), dan Allah tidak mencintai orang-orang yang sombong(Q.S Luqman:18-19) Jika diperhatikan, hal-hal yang tidak dicintai oleh Tuhan sangat berkaitan dengan pemenuhan unsur jasadiay manusia. Makan, minum, ingin dipuji, sex dsb adalah unsur jasadiyah yang berakar pada tanah. Sebelum melepaskan diri dari jasad kebumian, kata Rumi, maka selama itu tidak akan pernah sampai meneguk air pencerahan.
Tamak, ia adalah induk dari sifat jasadiyah. Bentuk paling tinggi dari pencapaian orang yang tamak adalah kehinaan. Tidaklah tumbuh dahan-dahan kehinaan, kecuali benih dari ketamakan, kata Ibnu Atai‘llah al-Iskandari. Kadang ia menyusup bak jiwa patriotic bahkan dengan retorika agama, padahal ia hanyalah bentuk ketamakan yang bersembunyi. Ia bahkan menyusup di hati para pejalan spiritual. Dimana kita sering menemukan mereka yang tersesat di jalan spiritual. Di tengah perjalannya mereka memandangi lampu-lampu jalan yang menghiasi, mereka terpesona. Ketika berteduh di bawahnya ia menemukan kehangatan sehingga lupa untuk melanjutkan perjalanan. Para Guru Sufi sering berpesan: silahkan tempuh jalan suci ini, gunakan ia sebagai perahu yang untuk menyeberangi sungai kehidupan. Setelah menyeberang tinggalkan di belakang. Jangan menggendong perahu dan membawanya kemana-mana. Bagi mereka yang senantiasa menggendong perahu spiritual kemana-mana cenderung akan memamerkannya. Keserakahan mengajarkan seperti itu. Di tingkat inilah agama bisa jadi kawan tapi juga kadang menjadi lawan