(1 Agustus 2012 pukul 1:43)
Surat
ini kutulis untuk melukis suasana hatiku dan berusaha membuatnya
tenang, setelah zikir panjang di malam ini telah terberai butiran
tasbihnya.
Jika aku boleh meminta, maka aku meminta agar
kau membiarkan aku menjadi galau, bukan untuk kali yang kemarin saja,
mungkin juga bukan untuk kali ini.
Hidup galau itu
katanya menyesakkan dada, tapi tidak dengan aku. Kedewasaanku tumbuh
justru dibesarkan oleh kegalauanku. Baiklah, akan kuceritakan
pertarungan batinku sepanjang beberapa tahun terakhir ini. Tentang kau
di masa depanku, tentang dia di masa laluku dan tentang aku yang
sekarang ini.
Aku kedatangan seseorang yang tidak
kuharapkan, lalu meninggalkan seseorang yang kuinginkan. Galau..pada
akhirnya aku dipojokkan di sudut misteri yang sulit kupecahkan. Sekali
lagi, itu tentang kau di masa depanku, tentang dia di masa laluku dan
tentang aku di masa sekarang.
Buat apa kuceritakan ini?
Agar kau sedikitnya lebih tahu tentang aku yang aku sendiri menyebutnya
sebagai lelaki teka-teki. Itu bukan kali itu saja aku mengatakannya,
tapi sudah kukatakan ribuan kali kepada dia, dia, dia, dia dan kau.
Maaf, aku memang sedikit masih egois. Tapi itulah aku, kamu mengerti
kan? Egois karena masih memikirkan hasratku, tentang diriku yang masih
labil yang memang perlu sedikit diluruskan. Perlu sedikit godam untuk
memukul batok kepalaku agar segera terbangun dan melihat dengan
benar-benar melihat.
Aku bahkan bersikeras, bahwa di
situlah sejarah hatiku bermula. Di tepian yang tak berakar, di lembah
yang padanya gemuruh tak pernah berhenti bernyanyi, dan di jalan di mana
padanya tak pernah berhenti berbelok. Suka atau tidak suka, aku harus
berhenti sejenak, tapi bukan berhenti berjalan. Tapi untuk menatap jalan
yang manakah yang harus kutempuhi. Setelah pulih kembali energiku, aku
akan berlari sekencang-kencangnya melampaui semua yang kutinggalkan.
Tidak lagi berjalan, tapi berlari, berlari sejauh-jauhnya....
Mereka
bilang, "cinta yang menjebakmu seperti itu kawan. Kamu masih melek
dengan bunga-bunga kehidupan dan takut meninggalkannya, ini penyakit
kawan." Tapi aku katakan, tidak, tapi justru akulah yang menjebak cinta
itu. Aku tidak ingin dipermainkan oleh cinta. Aku tidak ingin di atur
olehnya, aku ingin akulah yang mengaturnya. Aku bisa datang dan pergi
kapan saja yang aku mau. Aku bisa datang di saat aku justru tidak
menginginkannya, dan aku bisa saja pergi padahal aku justru sangat
merindukannya. Begitulah aku mempermainkan cinta kawan, begitu.
Kelak
akan datang suatu masa dalam sejarah hatiku, seseorang bertekuk lutut
dan bersujud di hadapanku. Tapi itu bukan kau, dia ataupun aku. Tapi
dia itu adalah cinta...