(24 Agustus 2012 pukul 23:32)
Mengetahui dan mempercayai. Saat kamu
mengetahui tak ada apa-apa di kegelapan malam. Tak ada hantu, tak ada
parakang dan tak ada
poppo’.
Tapi saat kamu berjaan di kegelapan malam, pada suasana yang mencekam,
maka kamu tetap mendapati dirimu dirudung ketakutan, meskipun hanya
sekadar ketakutan yang terselubung. Itu berarti di fikiranmu masih
menyisakan
kepercayaan bahwa ada ‘sesuatu’ di gelapan. Saat kamu sudah
mengetahui
bahwa mayat tidak bisa memberikan mudharat apapun kepadamu, tapi kamu
masih tetap takut mendekati kuburan yang baru saja dikuburkan mayat di
dalamnya meski hanya ketakutan terselubung, berarti kamu masih saja
percaya dengan hantu orang mati. Untuk mereka yang takut(phobia) dengan kecoak sekalipun sebenarnya sudah
mengetahui jika
kecoak yang sekecil itu tidak mungkin mencelakakannya, tapi saat
melihat kecoak kamu akan menyaksikan mereka berteriak histeris karena
takut, berarti mereka masih saja
percaya dengan kecoak yang bisa mencelakakan.
Begitulah
perbandingan antara pengetahuan dan percaya, antara ilmu dan iman.
Boleh jadi kita telah mengilmui sesuatu, tapi ilmu itu belum masuk ke
hati jadilah ilmu itu hanya sebatas ilmu. Boleh jadi pengetahuan kita
tentang agama ini sudah mencapai ‘titik tertinggi’ tapi itu tidak serta
merta membuat kita takut kepada Sang Pemilik Ilmu bahkan tidak sedikit
menjadikan kita sombong dan takabbur. Astagfirullah.
Dalam
Hipnotism, di kenal ada dua fikiran: fikiran sadar dan fikiran bawah
sadar. Fikiran sadar itu menyimpan pengetahuan, dan fikiran bawah sadar
menyimpan kepercayaan. Saat fikiran bawah sadar beradu dengan fikiran
sadar maka yang menang adalah fikiran bawah sadar karena ia memiliki
kekuatan 88% dari fikiran sadar. Itulah sebabnya seberapapun pengetahuan
yang kamu miliki tentang ketidakadaan hantu, tapi jika kamu berjalan
sendiri di kegelapan malam, kamu akan tetap merasa takut. Seberapapun
pengetahuan perokok tentang bahaya merokok dia tetap enak saja memilih
untuk tetap merokok, meskipun fikiran sadarnya sangat ingin berhenti
merokok. Jika percaya sama dengan iman, maka kekuatan iman itu lebih
dahsyat daripada kekuatan ilmu. Perbandingannya adalah 88% : 12%.
Dahsyat sekali.
Tapi apakah cara kamu beragama sampai hari
ini hanya bermodalkan kepercayaan? Jika jawabannya adalah ya, maka
kamu sebenarnya beragama dengan cara yang tidak lengkap. Cara beragama
kamu sepenuhnya hanya menggunakan kontrol bawah sadar. Lingkungan
tempat dimana kamu tumbuh dan dibesarkan itulah membentuk kepercayaan
kamu. Kamu belum sepenuhnya melakukan pencarian kebenaran dengan
menggunakan kontroln fikiran sadarmu. ‘Kebetulan’ saja kamu tumbuh dan
berkembangan di lingkungan muslim sehingga kamupun dibuatkan KTP dengan
keterangan beragama islam. Setelah itu kamu percaya begitu saja. Tapi
anehnya, saat agama ini dilecehkan maka kamulah orang yang berada di
garda terdepan untuk membela kepercayaanmu. Harta dan jiwamu bisa kamu
pertaruhkan. Tiba-tiba saja kamu memiliki kekuatan yang tak terhingga
untuk bisa bergerak. Meski hanya bermodalkan kepercayaan. Tanpa
pengetahuan. Maka jangan sangka pemabuk itu tidak akan marah ketika
kepercayaannya dilecehkan. Mereka sudah terlanjur percaya, dan
kepercayaannya bisa melumpuhkan logikanya.
Hal sebaliknya
yang biasa kita saksikan. Adalah mereka yang berilmu tapi ilmunya
tidak sampai di hati. Jika saja pemabuk itu berada di garda terdepan
untuk membela apa yang dia percayai, maka mestinya engkau yang sudah
memiliki ilmu lebih berhak untuk marah. Jika beberapa gereja di Barat
melakukan pemboikotan terhadap produk Israel, maka engkau yang punya
kepercayaan bahwa muslim di palestina adalah saudara seharusnya lebih
bisa melakukan lebih dari itu. Karena satu rupiah yang engkau
belanjakan untuk membeli produk Israel adalah sama dengan satu buah
peluru yang engkau tancapkan di dada anak-anak Palestina. Mana ilmumu?
Engkau yang sudah mengilmui bahwa Allahlah yang mengatur rezeki dan
sekali-kali rezekimu tidak akan tertukar, lalu mengapa di dadamu masih
menyisakan ketakutan jika kita dililit masalah ekonomi. Jika kamu
mengetahui bahwa Allahlah yang menyembuhkan, lalu mengapa ingatanmu
untuk pertama kalinya ketika sakit adalah obat, dokter bahkan dukun.
Jika kamu mengetahui bahwa Allahlah yang paling pantas ditakuti, lalu
mengapa masih takut miskin, masih takut kegelapan, masih takut
hantu,masih takut meninggalkan orang yang dicintai(takut kematian).
Jika kamu mengetahui bahwa tidak ada seseorangpun yang terbebas dari
kesalahan lalu bagaimana bisa kamu masih mengangung-agungkan seorang
yang kau sebut sebagai ulama seolah dialah yang paling benar dan yang
lain salah.
Dalam agama islam, tidak ada tempat bagi yang
tidak berakal. Syarat untuk melakukan kewajiban agama adalah berakal.
Agama ini tidak sekadar percaya begitu saja. Tapi pengetahuan dan
kepercayaan itu mesti berjalan berbarengan. Kita tidak sedang
membandingkan lebih baik mana antara kepercayaan dan pengetahuan
sebagaimana Allah tidak membedakan antara iman dan ilmu. Orang beriman
harus berilmu, dan orang berilmupun butuh iman. Bukanlah sebuah aib jika
Allah menakdirkan kamu tumbuh di lingkungan muslim, itu adalah
keberkahan. Kamu adalah manusia pilihan Allah untuk dijadikan sebagai
seorang muslim, namun tidak sampai di situ saja. Kamu harus bisa
membuktikan kalau apa yang kau percayai itu benar, seperti Ibrahim
khalilullah saat berkata, "Sebenarnya Tuhan kamu ialah
Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat
memberikan bukti atas yang demikian itu." ( QS. Al Anbiyaa’: 56).
Maka
katakanlah ini kepada mereka dengan penuh keyakinan: Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
kepada Allah dengan
argumentasi yang jelas. Maha Suci
Allah, dan aku bukan termasuk orang-orang yang menyekutukan (bertuhan
kepada selain Allah)".( QS. Yusuf : 108)