BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Awalnya
mushaf para sahabat berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan pribadi
masing-masing sahabat, belum ada perencanaan untuk kepentingan generasi
setelahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan dari
penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dan
tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Seperti
yang mafhum, pada awal-awal
perkembangan Islam, mushaf al-Quran belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris.
Bahkan Mushaf Utsmani yang kita kenal sekarang sangat berbeda dari yang
awalnya. Belum ada tanda titik, sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ (ي) dan ba’ (ب). Demikian
pula antara sin (س)dan syin (ش), antara tha’
(ط) dan zha’ (ظ), dan
seterusnya.
Kesulitan
mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke berbagai wilayah non Arab, seperti
Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah non
Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para pemimpin Islam. Ketika
Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan
(661-680 M) – riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi
Thalib – ia memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Du’ali membuatkan tanda-tanda baca, terutama
untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al-Quran bagi generasi yang tidak
hafal Al-Quran. Al-Du’ali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan suatu
kasus salah pembacaan yang fatal, yaitu :
ان
الله برئ من المشركين ورسولِه (التوبة ٩:۳)
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang
musyrik”.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah:
1.
Apa yang dimaksud dengan Rasm al-Quran?
2.
Bagaimana pola penulisan dalam Mushaf Utsmani?
3.
Bagaimana sejarah pemberian titik dan harakat
sehingga menjadi mushaf yang mudah dibaca hingga saat ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rasm al-Quran
Rasm secara etimologi adalah gambar atau coretan. Rasm al-Quran menurut Muhammad Abdul Adhim Az
Zurqoni sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Arief Wahyudi adalah penulisan
mushaf Al-qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan
lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya.
Rasm al-Quran di sini maksudnya adalah
Rasm Utsmani.
Nama
khot Bangsa Arab sebelum Islam dinamakan khot Hijri. Setelah datang Islam berganti
Khot Kufi.
Ketika
Islam menyebar ke seluruh penjuru non Arab, muncul perdebatan tentang bacaan
Al-Qur’an yang masing-masing pihak mempunyai dialek yang berbeda.Bahkan ada
klaim bahwa masing-masing bacaan merekalah yang terbaik.
Demi
menghindari pertengkaran maka Utsman bin Affan membentuk panitia yang terdiri
dari 12 orang untuk menyusun penulisan dan memperbanyak naskah Al-Qur`an. Mereka itu adalah: 1. Sa`id
bin Al-As bin Sa`id bin Al-As, 2. Nafi bin Zubair bin Amr bin Naufal, 3. Zaid
bin Tsabit, 4.Ubay bin ka`b, 5.Abdullah bin az-Zubair, 6.Abrur-Rahman bin
Hisham, 7.Khatir bin Aflah, 8. Anas bin Malik, 9.Abdullah bin Abbas, 10. Malik
bin Abi Amir, 11. Abdullah bin Umar, 12. Abdullah bin Amr bin al-As. Mereka
inilah yang menyusun mushaf Al-Qur`an yang kemudian di kenal dengan mushaf
Utsmani, ada juga yang mengatakan bahwa panitia yang di bentuk oleh Utsman ada
empat orang mereka itu adalah Zaid bin Tsabit, abdulalh bin Zubair, Sa’id bin
Al-As dan Abdurrahman bin Al-Harits, karena di tetapkan
pada masa khalifah Utsman bin Affan. Mushaf itu ditulis dengan kaidah-kaidah
tertentu. Kaidah-kaidah itu adalah :
1. Kaidah Hadzf (Pembuangan)
a. Alif dibuang
jika :
1) Didahului dengan Ya’
Nida’ (panggilan), contoh : يَايهَاالناسُ
2) Didahului dengan Ha’
Tanbih (peringatan), contoh : هأَنْتُمْ
3) Alif pada
kalimat Na (نا) jika bertemu dengan
dhamir, contoh : أنْجَيْنكُمْ
4) Lafaz بِسْمِ اللهِ، سُبْحن،
الرحْمن، إِلهٌ، اللهُ
5) Alif terletak setelah huruf La, contoh : الكَلَالَة
6) Alif Tatsniyah, contoh : رَجُلن
7) Alif pada kalimat bentuk jama’mudzakkar dan
muannats salim, contoh : سمعون، المؤمنت
8) Bentuk jama’ dengan wazan Mafa’il
(مفاعل) dan/atau yang menyerupai contoh : النَصرَى، الَمسجِد
9) Bentuk bilangan, contoh : وثُلث وَ رُبع
b. Huruf
Ya’ dibuang jika :
1) Terdapat dalam Isim Manqush yang
ditanwin, contoh : غير باغ ولا عاد
2) Dari beberapa kalimat berikut : وأطِيْعُوْنَ، اتقُوْن،وخَافُوْنَ،,
dll.
c. Huruf waw dibuang jika bertemu denggan huruf
waw, contoh : لَايَسْتَوُوْنَ ,فَأْوُوْا
d. Huruf Lam dibuang jika Mudgham, contoh : واليل، والذى, dll
e. Beberapa huruf yang dibuang tidak berdasarkan
kaedah, seperti pembuangan huruf alif dari lafaz (
ملك ), huruf Ya’ dariإبراهيم , huruf waw dari empat fi’il berikut: (ويدع الإنسن)، (ويمح الله الباطل)،( يوم يدع الداع)،( سندع
الزبانية)
2. Kaidah Ziyadah
(Penambahan)
a. Huruf Alif ditambahkan jika :
1) Terletak setelah waw pada akhir tiap-tiap
Isim Jama’ atau yang menyerupai bentuk
jama’, contoh : (مُلقُوْا رَبهِمْ
), ((بنوا إسراءيل ,
(أُولُوا الأَلْبب)
2) Setelah huruf Hamzah yang ditulis diatas waw,
contoh : kalimat تالله تفتأُ)) kemudian ditulis ((تالله
تفتؤا
3) Beberapa kalimat yang keluar dari kaedah,
seperti : (مائة), (مِائَتَيْنِ), (وَتَظُنوْنَ
بِاللهِ الظنُوْنَا)، (وأَطَعْنَا الرسُوْلَا)، (فَأَضَلوْنَا السبِيْلَا)
b. Huruf Ya’ ditambahkan dalam beberapa kalimat
antara lain :
((مِنْ نَبَاءِى
المُرْسَلِيْنَ)، (وَمِنْ انَاءِى اليْل), (مِنْ تِلْقَاءِى نَفْسِىْ)، (وَالسمَاءَ
بَنَيْنَاها بأييد)،( بِأييْكُمُ المَفتُوْنَ)
c. Huruf waw ditambahkan dalam beberapa kalimat
antara lain : (اولو)،
(اولات)،
(اولئك)،
(اولاء)
3. Kaidah al-Hamzah
a. Jika huruf hamzah sakinah (mati) maka ditulis
sesuai dengan harakat huruf sebelumnya, contoh :
(أؤتمن)، (إئذِن)، (البأساء)
b. Jika huruf hamzah berharakat, maka :
1) Jika berada pada permulaan
kalimat dan bertemu dengan huruf zaidah, maka ditulis dengan huruf alif,
contoh : (فبأي)،
(سأنزل)، (سأصرف)، (إذا)، (أولو)، (أيوب)
2) Jika berada
ditengah-tengah kalimat maka ditulis sesuai dengan harakatnya. Bila hamzah
berharakat fathah maka ditulis dengan alif, jika kasrah maka
ditulis dengan ya’ jika dhammah maka ditulis dengan waw, contoh :( تقرؤه)، (سئل)، (سأل)
3) Jika berada diakhir kalimat maka ditulis
sesuai dengan harakat sebelumnya. Bila huruf sebelum hamzah berharakat fathah
maka hamzah ditulis dengan alif, jika huruf sebelumnya berharakat dhammah
maka ditulis dengan waw dan jika huruf sebelumnya berharakat kasrah maka
ditulis dengan ya’, contoh : (سبأ)، (لؤلؤ)، (شاطئ)
4) Jika huruf sebelum hamzah berharakat sukun
(mati) maka ditulis sendirian, contoh : (مِلْءُ
الأَرْضِ)، (يُخْرِجُ الخَبْءَ)
4. Kaidah Badal (Penggantian)
a. Huruf alif diganti dengan huruf waw untuk
menunjukkan keagungan, contoh : (الحَيوةَ)،
(الزكَوة)، (الصلَوة)
b. Alif ditulis dengan ya’ jika asal kalimatnya
dari ya’, contoh : (يأَسَفَى)، (يحَسْرَتَى).
Selain itu ada juga beberapa kalimat yang keluar dari kaidah ini seperti : (إلى)، (على)، (بلى)، (حتى) (أنى)، (متى)
c. Nun ditulis dengan alif pada nun taukid
khafifah, contoh : (إذاً)
d. Ha’ muannats ditulis dengan ta’
maftuhah (terbuka), contoh : (رحمت)، ،(نعمت) ، (ومعصيت) إن شجرت))
e. ، (وجنت
نعيم) (قرت عين), dan kalimat (امرأة) yang
disandarkan kepada nama suaminya seperti : (امرأتَ نُوْح)، (امْرَأَتَ فِرْعَوْن)
5. Kaidah al-Washal wa al-Fashal (sambung pisah)
a. Kalimat (أَنْ)
jika bertemu dengan (لَا)
maka ditulis menyambung (أَلاْ)
, kecuali pada beberapa tempat, yaitu : Surat al-A’raf : 150, 169, Hud : 14,
26, At-Taubah : 118, al-Hajj : 26, Yasin : 60, ad-Dukhan : 19, al-Qalam : 24.
b. Kalimat (مِنْ) jika bertemu dengan (ما) maka ditulis menyambung (مِما)
kecuali pada surat an-Nisa’ : 25, ar-Rum : 28, al-Baqarah : 57.
c. Kalimat (مِنْ) jika bertemu dengan (مَنْ) maka secara mutlak harus ditulis
menyambung (مِمنْ).
d. Kalimat (عن)
jika bertemu dengan (ما) maka harus ditulis menyambung (عَما),
kecuali pada surat al-A’raf : 166.
e. Kalimat (إِنْ)
jika bertemu dengan (ما) maka harus ditulis menyambung (إما)
, kecuali pada surat al-Ra’d: 40
f. Kalimat (أَنْ)
jika bertemu dengan (ما) maka harus ditulis menyambung (أما).
g. Kalimat (كُل)
jika bertemu dengan (ما) maka harus ditulis menyambung (كُلمَا),
kecuali pada surat an-Nisa’: 91, al-Mu’minun : 44, Ibrahim : 34. Selain itu ada
beberapa kalimat yang harus disambung penulisannya, diantaranya : (نِعِما)، (رُبمَا)، (كأنما)، (يْكَأن)
6.
Kaidah yang berkaitan dengan
dua bacaan
Jika dalam satu
kalimat terdapat dua bacaan maka cukup ditulis salah satu
bacaannya saja, contoh : (ملك يوم الدين), tulisan ini dapat mewakili dua bacaan sekaligus, yaitu bacaan panjang dan pendek dari huruf mim.
B.Kedudukan Rasm Utsman
Para
Ulama berbeda pendapat tentang kedudukan Rasm Ustman, apakah pola penulisan
tersebut merupakan petunjuk Nabi atau hanya ijtihad para sahabat saja.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa pola rasm Utsmani bersifat tauqifi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah
sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw dan Nabi sendiri yang
membimbing peletakan huruf-hurufnya.
Sekelompok
ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams Ustmani tidak
bersifat taufiqi, tetapi hanya
ijtihad para sahabat karena tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai
ketentuan pola penulisan wahyu.
C.
Sosialisai dan distribusi Mushaf
Utsmani
Setelah panitia penulisan
mushaf al-Qur’an selesai melaksanakan tugasnya maka Utsman bin Affan kemudian melakukan
pendistribusian ke beberapa wilayah Islam. Bersamaan dengan pendistribusian itu
beliau juga mengirim para Qari ke
daerah tersebut untuk mengajarkan al-Quran secara talaqqi. Namun sebelum
pendistribusian itu, Utsman melakukan dua hal berikut:
1. Melakukan verifikasi, terutama dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti ‘Umar r.a
dengan membacakannya di hadapan para sahabat yang lainnya.
2. Membakar manuskrip al-Qur’an
lain. Dengan tindakan Utsman ini, Ali bin Abi Thalib r.a. berkomentar,
“Demi Allah, dia (‘Utsman) tidak melakukan apa yang
ia lakukan terhadap mushaf-mushaf itu kecuali (ia melakukannya) di hadapan kami
semua.”
Jumhur ulama berpendapat bahwa ketika ‘Utsman menuliskan
mushaf-mushaf itu ia membuatnya dalam 4 (eksemplar), lalu mengirimkan satu
eksemplar masing-masing wilayah: Kufah, Bashrah dan Syam, lalu menyisakan satu
eksemplar di sisinya.
Kecuali
naskah yang dikhususkan ‘Utsman bin ‘Affan r.a untuk dirinya yang dikenal
dengan nama al-Mushaf al-Imam, semunaya ditulis di atas kertas.
Sedangkan al-Mushaf al-Imam ditulis di atas
lembaran kulit rusak.
Mushaf-mushaf yang dikirim ke masing-masing
tersebut oleh para ahli al-Rasm diberi nama sesuai dengan kawasannya.
Naskah yang diperuntukkan untuk Madinah dan Mekkah kemudian dikenal dengan
sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan untuk Kufah dan Bashrah
disebut sebagai Mushaf ‘Iraqy, dan yang dikirim ke Syam dikenal dengan
sebutan Mushaf Syamy.
D. Pemberian Harakat
Naskah
mushaf ‘Utsmani generasi pertama ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa
titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab.).
Ini bertujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at.
Setelah
wilayah Islam meluas ke wilayah non Arab yang mengakibatnya adanya al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan
jenis huruf) dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi
sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin
non-Arab, namun juga di kalangan muslimin Arab sendiri.
Orang yang pertama menemukan
ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi. Kisah munculnya ide
itu diawali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya,
‘Ubaidullah, untuk menghadap Mu’awiyah. Saat ‘Ubaidullah datang menghadapnya,
Mu’awiyah terkejut melihat anak muda yang melakukan banyak al-lahn dalam
pembicaraannya. Mu’awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas
kejadian itu. Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad
al-Du’aly:
“Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah
semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda
menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat
mereka membaca al-Qur’an dengan benar.”
Awalnya
Abu al-Aswad mengemban tugas ini. Akan tetapi Ziyad memperdayainya dengan menyuruh
seseorang untuk menunggu di jalan yang selalu
dilewati Abu al-Aswad, lalu berpesan:
“Jika
Abu al-Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur’an tapi
lakukanlah lahn terhadapnya!”
Ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun
membaca firman Allah yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri
dari orang-orang musyrik.” (al-Taubah:
3)
E.
Pemberian titk pada huruf
Pendapat yang paling masyhur
menyebutkan dua orang yang berjasa dalam masalah ini, yaitu Nashr bin ‘Ashim
dan Yahya bin Ya’mar.
Dimulai saat Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan
kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy
untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah yang marak di
kalangan kaum muslimin.
Nuqath al-I’jam (tanda
titik) awalnya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu
lingkaran yang berlobang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna
yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda
harakat (nuqath al-i’rab) yang umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini
terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya
Khilafah ‘Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi
dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf. Di Madinah, mereka
menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, dan tinta merah
untuk harakat. di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf,
merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan
ada sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan
jenis i’rab sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk
menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, meski berbeda
untuk yang lainnya.
Akhirnya,
naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi di sini muncul lagi sebuah masalah.
Di sinilah Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia menetapkan bentuk fathah
dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah
dengan bentuk huruf ya’ kecil dibawahnya dan dhammah dengan bentuk
huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan mendoublekan
penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping beberapa tanda lain.
Al-Dualy
mengatakan:
“Dengan demikian, Khalil (al-Farahidy) telah
meletakkan 8 tanda: fathah, dhammah, kasrah, sukun, tasydid, mad, shilah, dan
hamzah. Dengan metode ini, sangat memungkinkan untuk menulis huruf, i’jam
(tanda titik huruf), dan syakl (harakat) dengan warna yang sama.”
BAB III
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari makalah ini
adalah:
1.
Rasm secara etimologi adalah gambar atau coretan. Rasm al-Quran menurut Muhammad Abdul Adhim Az
Zurqoni sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Arief Wahyudi adalah penulisan
mushaf al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan
lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya.
2.
Mushaf
Utsmani ditulis dengan kaidah-kaidah sbb:
a. Kaidah-kaidah itu
adalah :
b. Kaidah Hadzf
(Pembuangan)
c. Kaidah Ziyadah
(Penambahan)
d. Kaidah al-Hamzah
e. Kaidah Badal (Penggantian)
f. Kaidah al-Washal wa al-Fashal (sambung pisah)
g.
Kaidah
yang berkaitan dengan dua bacaan
3.
Nuqath
al-I’jam (tanda
titik) awalnya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu
lingkaran yang berlobang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna
yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda
harakat (nuqath al-i’rab) yang umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini
terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya
Khilafah ‘Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi
dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Ulumul Qur’an.
Bandung: Pustaka Setia. 2006.
al-A’zami,M.M.
The History Of Qur’anic Text. Terj. Sohirin Solihin dkk. Jakarta: Gema
Insani Press. 2005.
Amal,
Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2001.
Ikhsan,
Muhammad, Goldziher dan Varian Qira’at al-Qur’an (Resensi
Terhadap ‘Al-Qira’at fi Nazhar al-Mustasyriqin wa al-Mulhidin):.
Tugas resensi mata kuliah Ulumul Qur’an. Universitas Indonesia. 2005.
Akaha, Abduh
Zulfidar, al-Qur’an dan Qiroat
Jakarta, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Cetakan pertama 1996.
Syadzali,
Ahmad dan Rofii, Ahmad.Ulumul Qur’an II. Bandung: Pustaka setia. 2000
al-A’zhamy,The
History of The Qur’anic Text from Revelation to Compilation, Jakarta: Gema
Insani Press. Cetakan pertama. April 2005.
Anwar, Rosihan. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. 2006 hal.50
Al-A’zami,M.M. The History Of Qur’anic Text. Terj. Sohirin Solihin dkk.
Jakarta: Gema Insani Press. 2005, hal.105-106
Nama
lengkapnya adalah Zhalim bin ‘Amr al-Du’aly al-Kinany. Ia adalah salah seorang
pemuka tabi’in. Turut serta dalam pasukan Ali bin Abi Thalib r.a. dalam
peristiwa perang Shiffin tahun 37 H. Ia dipercaya sebagai orang pertama yang
memunculkan ilmu Nahwu dan memberikan tanda bacaan pada mushaf al-Qur’an. Ia
kemudian meninggal dalam peristiwa wabah (tha’un) Amwas tahun 69 H. Lih.
Al-A’lam, 3/340
Nama
lengkapnya adalah Abu Sa’id Yahya bin Ya’mar al-Qaisy al-‘Adawany. Seorang
tabi’in. Ia termasuk yang berpandangan lebih mengutamakan Ahlul bait tapi tanpa
merendahkan sahabat-sahabat Nabi yang lain. Seorang alim dalam al-Qur’an dan
Nahwu. Meninggal tahun 90 H. Lih. http://wahyudi085112080.blogspot.com/2011/08/sejarah-penulisan-rasm-al-qur-dan.html.