(13 Juni 2011 pukul 14:33)
Negeri
di atas awan benar-benar hanya mengawan-awan di angkasa. Negeri itu
adalah negeri yang utopis dan hanya ada di negeri dongeng . Kita pernah
membeli harapan yang besar itu dengan darah para pahlawan lalu kita
menjualnya dengan murah di atas meja-meja para koruptor di gedung-gedung
mewah yang di bangun dari bau keringat rakyat. Kita pernah menaruh
harapan yang besar di atas meja-meja pendidikan sebagai poros perubahan.
Di sana seharusya arus perubahan itu bermula, tapi sayang, tumpukan
buku di atas meja ilmu hanya mengajarkan tentang cara memiliki mutiara
dan bintang-bintang, tidak mengajarkan bagaimana menjadi bintang dan
mutiara( Shaff Muhtamar).
Kita
semua rindu akan perubahan, tapi kita tak pernah diajari untuk berubah.
Kita juga rindu kepada pemimpin yang mengayomi, tapi kita tak pernah
diajar untuk menjadi pemimpin. Mental-mental yang dibangun oleh
pendidikan kita adalah mental-mental budak. Janganlah heran jika saatnya
engkau akan menemukan pemimpin yang tidak memimpin akan tetapi menjadi
budak dari pemimpin yang lainnya. Segala keputusannya tunduk di ujung
jemari pemimpin bangsa yang besar. Seperti perubahan yang diembannya
kelak, hanya mengarah pada kebinasaan belaka. Memang bangsa yang kalah
itu akan mengikuti bangsa yang mengalahkannya…kita adalah bangsa yang
terkaklukkan oleh Barat, maka pantaslah jika kita sujud
mengharu biru pada setiap keputusan-keputusan yang diambilnya
walaupun harus memangsa saudara sendiri.
Wahai meja ilmu
yang berjejer di ruangan kelas tempat pertemuan guru dan murindnya,
lahirkanlah pahlawan-pahlawan yang bisa bertahan di tengah badai yang
memporak-porandakan bangsa ini. Gebuk kepala siswa-siswa yang engkau
lihat tertidur dari ilmu, peringatkan kepada guru juga untuk selalu bisa
tulus dalam mengajar.