Kemarin usai bawakan ta'lim di LDK Gamais. Saat pulang, saya lewat jalan Alauddin. Sekilas saya melirik di sebuah persimpangan Jl. Mannuruki, di sana berdiri sebuah kampus yang mengingatkan saya tentang banyak hal. Orang Tua, kamu dan kondisi hidupku.
Di sana berdiri sebuah kampus Yapika. Di sana aku pernah berprofesi sebagai tukang bersih-bersih selama kurang lebih satu tahun. Mengapa? Awal-awalku kuliah, Ayahku kembali ke hadirat-Nya untuk selama-lamanya. Beliau tulang punggung perekonomian keluarga. Sementara aku tidak ingin putus kuliah di tengah jalan.
4 lantai, setiap hari harus dibersihkan seorang diri. Pagi buta, sebelum semua Mahasiswa datang, kondisi kampus harus bersih baik di dalam maupun di luar ruangan, termasuk taman dan segalanya. Ah...hidup memang selalu tak terduga!
Jika sedang tidak ada kuliah, maka saya akan seharian di sana, mengepel lantai yang kotor, mengecek kebersihan toilet, mengatur letak banku dsb... terkadangpun beberapa mata kuliah harus kutinggalkan jika musim penghujan tiba. Mahasiswa itu tak mengerti, betapa menyusahkannya dirinya bagi tukang bersih-bersih ini jika dalam kondisi sepatu masih berbalut lumpur tebal lalu tanpa dosa menginjak keramik dan meninggalkan jejak alas sepatu di sana. Tahukah, bahwa jejak itu adalah luka tersendiri bagi tukang bersih-bersih...tapi disitulah aku mengerti arti menghargai orang yang berprofesi dipandang sebelah mata.
Sekali lagi, hidup selalu tak terduga..
ADS HERE !!!