Penulis pernah dikarantina di salahsatu lembaga al-Quran yang
dibimbing oleh salah seorang Syekh dari Sudan bernama Syekh Abdullah
Karamallah. Kami berjumlah kurang lebih 25 orang dari seluruh Indonesia
tinggal di sebuah pondokan selama beberapa puluh hari untuk
menyelesaikan hapalan al-Quran. Menjelang masa Haflah, sebagai bentuk refreshing kepada seluruh peserta, mereka diajak berlibur ke beberapa tempat termasuk Malino.
Kita
bercerita tentang Malino. Penulis menjadikan Malino di sini sebagai
ikon Indonesia secara keseluruhan. Bukan karena penulis memang tinggal
di Makassar, akan tetapi akan adanya cerita yang akan terbangun yang
kelak menjadi ibrah bagi kita semua.
Malino
Kota Bunga, Sulawesi Selatan. Terletak di sebelah tenggara Kota
Makassar. Berada di ketinggian 1.500 meter dari permukaanlaut. Asbab
ketinggiannya inilah maka hawanya terasa sejuk dan selalu diselimuti
kabut. Malino merupakan lereng sebelah barat Gunung Bawakaraeng,
tepatnya di Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Sepanjang
perjalanan akan disuguhi dengan aneka keindahan alam. Ada bendungan
Bili-Biliyang sangat luas mengalirkan air ke jutaan hektar sawah dan
kebun, ada lembah, dan lapisan bukit hijau terhampar di depan mata.
Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam dengan jarak sekitar 90 km
dari Makassar. Jalan yang menanjaki pegunungan, melewati jalan yang
berkelok-kelok, dan melintasi lembah-lembah dan jurang yang terjal
menambah nikmat perjalanan. Semakin mendektai Malino, hawa semakin sejuk
dan tanjakan semakin tajam. Suara lantunan ayat suci al-Quran menemani
kami sepanjang perjalanan. Jadilah perjalanan ini seperti memasuki
sebuah lorong-lorong surgawi. Memang hapalan al-Quran sebagian
sahabat-sahabat masih terasa fresh karena karantina masih sementara berlangsung. Sesekali Muhaffidz menegur jika ada bacaan yang salah atau kurang pas pengucapan hurufnya.
Sebelum
benar-benar tiba di Malino, kita terlebih dahulu menemukan hutan pinus
yang berdiri rapih membawa nuansa keteduhan. Memang sejak dahulu,
Malino dikenal sebagai kawasan rekreasi. Sebuah tembok prasasti di
tepi jalan tertulis “Malino 1927”. Prasasti ini mengacu pada aktivitas
Gubernur Caron yang memerintah di "Celebes en Onderhoorigheden
yang pada tahun tersebut menyulap Malino sebagai tempat peristirahatan.
Bukan hanya ukiran sejarah Belanda berada di situ, terdapat juga
lubang-lubang penghadangan (bunker) yang merupakan peninggalan penjajah
Jepang yang kini banyak dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun
mancanegara.
“Malino 1927” tidak berarti bahwa
Malino baru dikuasai Belanda pada tahun tersebut. Faktanya, jauh
sebelumnya itu Belanda sudahberkuasa di wilayah Kerajaan Gowa. Pasca
Perjanjian Bungaya 18 November 1667 yang ditandatangani antara
Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan dari pihak
Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Walaupun
disebut sebagai perjanjian perdamaian, tapi sebetulnya dekrasi itu
menanda kekalahan Gowa dari VOC serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk
perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowa).
Di Malino juga pernah diadakan Konferensi Malino yang dilaksanakan pada
15-25 Juli 1946, diprakarsai oleh Gubernur Jenderal Dr HJ van Mook,
untuk membicarakan dan menggagas pendirian Negara Indonesia Timur (NIT).
Juga pernah dilaksanakan, perjanjian perdamaian Malino I dan Malino 2
yang diprakarsai oleh HM JusufKalla. Bagi penulis, 1927 itu bermakna
lain. Apabila dibalik maka akan menjadi 2719, 27:19. Di dalam al-Quran
surah 27 itu adalah al-Naml yang berarti semut. Sebuah symbol untuk Nabi
Sulaiman yang diceritakan oleh Allah bersama Ratu Bilqis dari negeri
Saba. Tentang Saba akan dijelaskan lebih lanjut. Dan ayat 19 dari surah
al-Naml berbunyi:
فَتَبَسَّمَ
ضَاحِكاً مِّن قَوْلِهَا وَقَالَرَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ
نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّوَأَنْ أَعْمَلَ
صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ
الصَّالِحِينَ-١٩-
Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalutertawa karena
(mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya
Tuhan-ku,anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang
telah EngkauAnugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar
aku mengerjakankebajikan yang Engkau Ridai; dan masukkanlah aku dengan
rahmat-Mu ke dalamgolongan hamba- hamba-Mu yang saleh.”
…
Adalah
hamparan kebun teh dan hutan pinus yang ditingkahi dengan bunyi fauna
burung nuri, burung jalak, burung gelatik dan kera hitam berloncatan
sebagai bahasa sambutan kepada setiap pengunjung yang datang di kawasan
ini. Ada berbagai jenis bunga yang menghampar sepanjang jalan: Bunga
Akasia, Edelweis, Kenanga dan beberapa jenis Perdu. Hasil penelitian
sebuah lembaga asal Belanda menyatakan bahwa sekitar 60 persen bunga
yang tumbuh di Belanda juga terdapat di kawasan Malinodan sekitarnya.
Inilah sebabnya Malino juga dikenal sebagai kota bunga.
Sedikit
ke daerah atas terlihat dengan jelas hamparan sayur-mayur yang
menghijau. Di daerah Kanreapia, yakni 8 km ke arah timur Malino, kita
bisa menjumpai kebun-kebun holtikultura milik warga setempat yang
berjajal rapi. Tanaman hortikultura seperti kol, vetsai, bawang prei,
kentang dan tomat, digarap olehpara petani desa setempat. Juga
perkebunan Markisa yang terkenal menghasilkan buah markisa yang manis
khas yang dapat diperoleh di pasar-pasar tradisonal di Malino. Sementara
itu jika kita ke daerah Pattapang, terdapat perkebunan teh milik Nittoh
asal jepang yang juga menjadi salah satu objek wisata Malino yang
digemari karena hamparan hijaunya yang cantik dan memukau.
Ah
indah sekali. Suara lantunan al-Quran yang kami lakukan secara
bergantian di dalam mobil Kijang Inova yang kami tumpangi masih menggema
terus. Hingga ketika sampai di surah Saba:5, penulis merenung. Entah
kenapa tiba-tiba perjalanan ini serasa seperti menelusuri Negeri Saba
zaman dahulu sebelum ditimpa banjir besar yang meruntuhkan bendungan
Maarib. Sebagaimana yang digambarkan al-Quran
لَقَدْ
كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ
وَشِمَالٍكُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ
طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ-١٥-
Sungguh,bagi kaum Saba’ ada tanda
(kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu duabuah kebun di
sebelah kanan dan di sebelah kiri (kepada mereka dikatakan),“Makanlah
olehmu dari rezeki yang (Dianugerahkan) Tuhan-mu dan
bersyukurlahkepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman)
sedang (Tuhan-mu)adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”
Penulis
mengasosiasikan bahwa bendungan Bili-Bili ini adalah bendungan Ma’rib
di zaman dahulu. Sebagaimana Bendungan Ma’rib, Bendungan Bili-bili juga
merupakan bendungan terbesar di Sulawesi Selatan yang terletak di
Kabupaten Gowa, sekitar 30 kilometer ke arah Timur Kota Makasar
menujuarah hulu pertemuan Sungai Jene berang dan Sungai Jenelata.
Bendungan dengan waduk seluas 40.428 ha dibangun dengan tipe urugan
batu, tinggi bendungan utamanya 73 m. Luas daerah tangkapan waduk
sebesar 384,40 km2 dengan kapasitas tampungan 375 juta m3 cukup untuk
mensuplai air ke berbagai daerah Makassar dan sekitarnya. Sungai yang
panjangnya mencapai 75 km dan luas daerah Aliran Sungai 727 Km2 ini
bersumber dari Gunung Bawakaraeng pada elevasi +2.833,00 MSL.
Selain
sebagai irigasi, bendungan ini juga berfungsi sebagai PLTA dengan
kapasitas 16,3 Meter. Bendungan ini pun sukses mengendalikan banjir
Sungai Jeneberang dari debit 2.200 meter kubik per detik menjadi 1.200
meter kubik per detik. Dengan gambaran kekuatan Bendungan Bili-Bili ini,
selain untuk mensejahterahkan penduduk, maka itu sudah cukup untuk
menenggelamkan seluruh Kota Makassar dan Sekitarnya jika sampai jebol.
Sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 1975. Waktu itu hujan lebat
terjadi antara Desember dan Januari yang mengakibatkan meluapnya sungai
di hilir jembatan Sungguminasa 2/3 kota Ujung Pandang
(Makassar)tergenang. Bukan tidak mungkin ini terulang, bahkan berpotensi
lebih dahsyat dari semula.
فَأَعْرَضُوا
فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ
وَبَدَّلْنَاهُمبِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَى أُكُلٍ خَمْطٍ
وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِّنسِدْرٍ قَلِيلٍ -١٦-
Tetapimereka berpaling, maka Kami Kirim kepada mereka banjir yang besar dan
Kami Ganti kedua kebun mereka dengan duakebun yang ditumbuhi
(pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl (sejenispohon cemara)dan
sedikit pohon Sidr (sejenis pohon bidara)
Dalam
sejarah, kemakmuran negeri yang beribukota di Ma'rib sangat terkenal.
Menjadi sebuah negeri yang termodern sekaligus tesubur di zamannya.
Dalam tafisr al-Thobari disebutkan bahwa Qatadah dan Abdurrahman bin
Zaid rahimahumallah mengisahkan tentang negeri Saba ini, bahwa
apabila ada seseorang yang masuk ke sebuah kebun dengan membawa
keranjang di atas kepalanya, ketika keluar dari kebun itu keranjang
tersebut akan penuh dengan buah-buahan tanpa harus memetik buah
tersebut. Informasi ini menggambarkan betapa suburnya kebun-kebun di
negeri Saba. Unikanya lagi, sebagaimana oleh Abdurrahman bin Zaid
menambahkan, di sana bahkan tidak ditemukan nyamuk, lalat, serangga,
kalajengking, dan ular.
Berkat letak geografisnya yang
berdekatan dengan Sungai Adhanah, dimana terjadi pertemuan dengan Gunung
Balaq. Oleh karena itulah sangatlah tepat jika di situ dibangun sebuah
bendungan raksasa yang bernama Bendungan Ma’rib dengan menggunakan
tekhnologi yang sangat maju.
Ketinggiandari
Bendungan Ma'rib mencapai 16 meter, lebar 60 meter dengan panjang 620
meter. Berdasarkan perhitungan, total wilayah yang dapat diari oleh
bendunganini adalah 9.600 hektar, dengan 5.300 hektar termasuk dataran
bagian selatan bendungan dan sisanya termasuk dataran sebelah barat
seluas 4.300 hektar. Duadataran ini dihubungkan sebagai " Ma'rib dan dua
dataran tanah " sebagaimanadisebutkan dalam prasasti Saba.Sebutan ini
sama dengan جَنَّتَانِعَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ dalam bahasa al-Qur'annya
sebagaimana yang disebutkan di atas.
Dari
bedunganbesar inilah peradaban kemudian dibangun. Adalah tanah yang
subur dan penguasaan mereka atas jalur perdagangan menjadikan mereka
memiliki gaya hidup yang mewah. Karena keadaan negeri yang menghijau
inilah sampai-sampai penulis Yunani bernama Pliny yang telah mengunjungi
daerah ini memu-mujinya saking takjubnya.
Akan
tetapi,sebagaimana di ayat yang di atas, terjadi Banjir Arim yang
menyebabkan kerusakan yang hebat. Walaupun pada abad abad 5 dan 6 M
bendungan ini dilakukan perbaikan besar-besaran. Namun hal itu tidak
mampu mencegah keruntuhan bendungan ini tahun 542 AD. Ketika banjir
datang, kebun-kebun anggur, ladang-ladang pertanian dari kaum Saba yang
telah mereka panen selama ratusan tahun menghilang secara menyeluruh.
Dan seluruhseluruh negeri digenangi air. Runtuhnya Bendungan Ma’rib ini
menandaiberakhirnya pula peradaban Saba.
Ah,
sudahterlalu jauh penulis membawa pembaca dalam imajinasi yang tak
berkesudahan ini. Satu yang pasti, penulis ingin mensebandingkan antara
Saba dan Malino ini untuk pelajaran yang berharga. Bahwa, sebagian kecil
Indonesia sebetulnya sudah cukup memadai membangun peradaban yang besar
sebagaimana yang tertera dalam sejarah bangsa-bangsa terdahulu. Jika
disebandingkan antara Bendungan Ma’rib dan Bendungan Bili-Bili, maka
sepertinya tidak jauh beda. Tapi mengapa menghasilkan hal yangberbeda?
Terakhir,
dengan Bahasa Arab yang pas-pasan, penulis mendengar bagaimana Syekh
Karamallah yang berasal dari Sudan itu memuji bentangan Alam Malino
dengan berseru,” Hadzihil Jannah.” Ini adalah Surga…Indonesia adalah Surga itu, serpihan Negeri Saba'
ADS HERE !!!