HIdup
adalah serangkaian ujian demi ujian. Manusia yang terbelenggu adalah
manusia dikala dihantam ujian yang bertubi-tubi justru hanya meratapi
kemalangannya. Padahal musibah adalah salah satu cara Tuhan
memperkenalkan dirin-Nya kepada hambanya. Ketakutan, keresahan,
kekurangan harta, dan kehilingan adalah gerbang bagi hamba pencari Tuhan
untuk berjumpa dengan-Nya. Sesungguhnya jika Tuhan mencintai hambanya,
maka Tuhan akan membiarkan hambanya terus-terus merengek di hadapan-Nya,
sebaliknya jika hamba yang mencintai Tuhannya maka dia akan senang
merengek di hadapan-Nya.
Ingatlah saat Nabi s.a.w diuji
dengan seribu musuh lengkap dengan peralatan di badar dahulu. Sementera
pada saat itu sang Nabi hanya memiliki jumlah pasukan yang tiga kali
lebih kecil dari jumlah pasukan musuh. 300 berbanding 1000. Sempat para
sahabat gentar hatinya jika saja mereka tidak sadar bahwa di
tengah-tengah mereka ada Allah dan Rasul-Nya. Saat persiapan fisik itu
tidak ada, maka justru Rasulullah memperkokoh spiritualnya. Ujian ini
adalah panggilan dari Tuhan. Maka lihatlah Nabimu yang datang bersimpuh
di hadapan Tuhannya seraya merengek mesra dengan deraian air mata: Ya Allah, andaikan saja hari ini Engkau tidak menolong kami, maka tidak ada lagi yang akan menyembahmu di hari esok.
Tidak, sekali-kali Muhammad itu bukanlah termasuk golongan orang
musyrik apalagi berputus asa. Kekalahan kaum muslimin di Badar tidak
sedikitpun mengurangi kredibilitas Allah sebagai Tuhan semesta alam.
Bahasa Rasulullah hanyalah bahasa rengekan, bahasa rayuan bahwa tidak
adalagi yang bisa diharapkan kecuali kepada Tuhan...dan inilah jawaban
Allah: Inni mumiddukum bi alfin minal malaikati murdifiin, Aku akan
segera mengirimkan seribu bala bantuan dari kelompok malaikat secara
bergelombang laksan ombak
Seperti rengekan
Zakariyah a.s, betapapun telah bertahun-tahun memanjatkan do'a tapi
belum juga dikabulkan. Ingat rumusnya bahwa sesungguhnya jika Tuhan
mencintai hamba-Nya maka Dia akan senang jika hamba-Nya
merengek-rengek. Seharusnya Zakariyah a.s berputus asa. Betapa tidak,
dia telah tua, istrinya telah melewati masa suburnya. Tapi dia
mengetahui kuncinya. Rengekan. Ya rengekan. Maka dengarlah rengekan
Zakariyah dalam do'anya: Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah
dan kepalaku telah dipenuhi uban, tapi aku tidak pernah kecewa dalam
berdo'a kepada-Mu Tuhanku...sekali lagi cermati do'a itu. ITulah kalimat penuh rayuan.
Seperti Dzunnun dalam perut ikan. Saat yang ada hanyalah pekat melingkupi. Dengarkan pulalah rayuannya: TIdak ada Tuhan selain Engkau dan aku termasuk orang-orang yang dzalim.
Seharusnya Dzunnun meminta kepada Tuhan untuk mengeluarkannya dari
perut ikan, tap tidak. Karena setiap orang punya caranya sendiri dalam
merayui.
Itulah rahasai do'a dari para Nabi. Dia adalah
dramatisasi jiwa. Melangkolis memang. Seperti kepura-puraan saja. Yang
membedakannya adalah gelora yang memancar dari setiap kata-katanya. Do'a
memiliki ruh, bukan pepesan kosong yang ringan ditiup angin, atau puisi
yang hambar yang dikumandangkan oleh orang-orang yang tidak berjiwa.
Pada do'alah segala harapan terukir. Do'a adalah ketukan irama syahdu di
pulau Tuhan. Atau do'a adalah pulau Tuhan itu sendiri. Dia adalah
bentuk keintiman seorang hamba dengan Khaliknya dan saat-saat berbagi
kerinduan..jadi merayulah di pulau Tuhanmu.....