"Itulah
Namus yang sama yang pernah datang kepada Musa. Ah, andai saja saya
masih muda maka saya bisa menyalsikan anda diusir oleh kaum anda keluar
dari negeri anda...." Begitu kata Waraqah bin Naufal kepada Rasulullah
saat beliau dan istrinya menceritakan kejadian di Gua Hira itu.
" Baca!"
"Sungguh aku tidak tahu membaca."
"Bacalah!"
" Apa yang harus kubaca? Sungguh aku tidak tahu membaca!"
Dan pelukan itu semakin erat saja, sampai-sampai Rasulullah susah untuk bernapas
"Bacalah!" Desak Jibril sekali lagi.
"Tidak, aku tidak bisa membaca."
" Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu, yang menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Maha Mulia, yang
mengajarkan manusia dengan perantaraan pena dan mengajarkan manusia
tentang apa yang tidak diketahuinya....(Al-Alaq1-4).
Wajar
jika Nabi saw bertanya kepada Jibril: "Apa yang harus kubaca?" Sebab
Nabi adalah orang yang Ummi. Tapi orang yang sepertimu sangat tidak
wajar jika masih saja bertanya tentang apa yang harus dibaca. Sebab alam
semesta terbentang di hadapanmu, Perpustakaan mewah yang berisikan
buku-buku ada di sekitarmu dan yang paling penting adalah engkau telah
belajar membaca sejak usia lima atau enam tahun. Pertanyaan yang
seharusnya kamu pertanyakan adalah: Apa yang harus kutulis? Lewat
menulis, engkau juga bisa menghimpun ilmu. Sebab Tuhan juga mengajarkan manusia lewat perantaraan pena (Al-Alaq)
"Apa yang harus kubaca?".pertanyaan Nabi ini mirip dengan pertanyaan Sang Pena saat diperintahkan oleh Allah untuk menulis takdir...Wahai Tuhanku, apa yang harus kutulis? Tuhan menjawab: Tulislah seluruh takdir segala sesuatu hingga kiamat.....jadi
jika dihayati sekali lagi, membaca dan menulis adalah dua hal yang
tidak terpisahkan. Dua mata koin, dua mata pedang. Begitulah ibaratnya.
Pertanyaan Nabi itu(Apa yang harus kutulis?) diperuntukkan bagi mereka
yang masih ummi, tapi pertanyaan sang pena(Apa yang harus kutulis)
adalah bagi mereka yang telah mengenyam bangku pendidikan selama
bertahun-tahun
Bermula dari membaca lalu diakhiri dengan
menulis. Karena membaca berarti menghimpun, berarti engkau harus
menghimpun segenap yang berserakan itu lalu menyimpannya dalam rumpun
demi rumpun di alam idemu. Lalu jadilah ia sebuah ilmu. Menghimpun huruf
demi huruf menjadi kata, lalu kalimat, lalu paragraf dan jadilah ia
ilmu. Menghimpun manusia, hewan dan tumbuhan menjadi sebuah ide maka
jadilah ia ilmu yang kau dapat sebut sebagai makhluk hidup. Menghimpun
kelompok masyarakat, dan gejala-gejala yang menyertainya, simpan di alam
ide maka jadilah ia Sosiologi, menghimpun segenap makhluk hidup menjadi
ide maka jadilah ia biologi dst....menghimpun. Menghimpun apa saja yang
berserakan di alam raya ini baik tersirat maupun tersurat menjadi
sebuah ilmu, maka itulah membaca.
Himpun,
himpunlah segala yang berserakan itu. Segenap apa yang terhampar.
Himpunlah ia sebagai tetesan embun menjadi samudra raya. Tiupkan angin
menjadi badai. Maka terciptalah padanya riak, riak itu semakin lama
semakin membesar, menjadi ombak menerjang karang kejahilan..terus, bawa
ia ke tepian pantai, ke pelosok yang tidak pernah terjamah. Dan
kau bawa ke sanan. Ilmumu. Dalam bingkisan tulisan yang utuh, tulisan
itulah yang lebih abadi. Tapi ingat, dia harus bermula dari membaca, seperti itu pula kita memulai peradaban. Membaca lalu menulis