23 Agustus 2012 pukul 9:39
Ada
sebagian kawan yang mengatakan,"Beragama itu adalah cukup mengikuti
kedua petunjuk(Al-Quran dan Hadits ) itu,ga usah menggunakan akal apatah
lagi mengakal-akali dalil." Lalu saya menjawab, "Kalau ga menggunakan
akal, lalu apa yang kita gunakan untuk memahamii keduanya? Jika kita
mengeluarkan otak kita lalu kita di suruh untuk memahami Al-Quran dan
Hadits, apakah kita bisa memahaminya? Lalu kawan saya itu berkata lagi,"
Bukan Al-Quran dan Hadits yang ikut dengan akalmu, tapi akalmu yang
harus mengikuti keduanya." Lalu saya menjawab," Al-Quran dan Hadits
adalah sebuah teks yang tidak bisa berbicara. Dia menunggu akal untuk
menjadikan keduanya bisa berbicara. Teks itu tetap akan menjadi teks
hingga akalmu memberinya makna. Dan setiap kali akal memberinya makna
maka kamu akan mendapati bahwa orang lain akan memberinya makna yang
berbeda dengan apa yang telah dimaknai oleh akalmu."
Itu
adalah sekelumit diskusi kami dengan beberapa kawan yang saya
cintai(terimakasih atas diskusinya yang romantis, semoga kita tidak
pernah berhenti untuk menggapai kebenaran)i. Diskusinya baik(kami
berlindung dari Allah atas hawa nafsu kami saat berkata-kata)meskipun
terkadang melelahkan. Lagi-lagi tentang kebenaran, karena yang kita cari
memang adalah kebenaran. Yang kita perebutkan selama sekian ratus abad
adalah tentang letak kebenaran itu dimana. Kita orang islam menyandarkan
kebenaran itu pada dua hal yang telah menjadi aksioma: Rujuk kepada
AL-Qur'an dan Hadits Rasulullah saw. Namun tidak semudah antara
perkataan dan aplikasinya. Karena kedua hal itu akan ditafsirkan oleh
berbagai macam rasa dan rasio di antara sekian juta ummat islam di
penjuru dunia. Kita akan mendapati setiap jengkal dari pemikiran mereka
ada perbedaan. Dan setiap langkah yang kita ayungkan kita mendapati
adanya perdebatan yang sengit di antara pemilik klaim-klaim kebenaran.
Karena setiap individu adalah unik, punya rasa dan rasio yang berbeda.
Kita
selalu memiliki rasa dan rasio yang berbeda dalam memaknai teks karena
kita selalu berada dalam 'penjara-penjara' berikut ini:
- Kepada siapa kita berguru.
Secara psikologi guru adalah orang yang kita anggap sebagai figur yang
memiliki kelebihan dari kita. Jika kita sudah menganggapnya demikian,
maka hampir semua informasi yang disampaikan oleh guru akan sangat sulit
kita kritisi. Secara teori memanglah demikian. Saat kita menganggap
seseorang sebagai figur yang memiliki kompetensi di bidangnya maka
gelombang otak kita akan menurun. Saat gelombang otak menurun maka
fikiran bawah sadar kitalah yang berfungsi lebih banyak. Saat fikiran
bawah sadar kita yang berfungsi, maka fikiran kritis kita akan tertutup
perlahan-lahan, jadilah kita sulit mengkritisi pendapatnya. Jika ini
terjadi maka semua yang disampaikan oleh guru kita anggap sebagai
kebenaran/kita mempercayainya karena ia langusng masuk dan tersimpan di
alam bawah sadar kita.
- Di lingkungan mana kita berada. Orang
yang hidup di lingkungan yang memiliki kepercayaan dengan hal tertentu
cendrung akan memiliki kepercayaan yang sama dengan lingkungannya. Jika
di lingkungan kita mempercayai tentang adanya hal gaib yang membuat kita
sakit selain Allah, maka anak yang dilahirkan dan dibesarkan di
lingkungan demikanpun akan mempercayai hal yang sama. Sampai ia tumbuh
dewasapun akan sulit melepaskan kepercayaan itu karena informasi itu
sudah sangat melekat di bawah sadarnya. Rumusnya adalah: informasi yang
didapatkan secara berulang-ulang itu lambat laun akan menjadi sebuah
kepercayaan. Contoh lainnya adalah kucing yang tertabrak kendaraan
bermotor. Saat seseorang menabrak kucing, maka anda akan melihat ia
turun dari motornya lalu membuka bajunya dan membukus kucing itu. Diapun
melakukannya dengan sangat takzim, semacam ritual orang yang ingin
menguburkan mayat orang terhormat. Apa yang ada difikiran orang
tersebut? yah, yang ada adalah kepercayaan bahwa menabrak kucing akan
membuat kita celaka. Kepercayaan bahwa untuk menghilangkan sial saat
selesai menabrak kucing adalah dengan cara membungkusnya dengan pakaian
yang melekat di badannya. Mengapa itu bisa terjadi? Karena dia hidup di
lingkungan yang memiliki kepercayaan semacam itu, dan informasi tentang
itu didapatkannya secara berulang-ulang. Yang menjadi lucu adalah di
saat mereka menabrak orang, dia lebih memilih untuk kabur daripada
melakukan seperti yang ia lakukan terhadap kucing. Hmm, kucing lebih
terhormat daripada manusia ya..hehe
- Buku/kitab apa yang dibaca. Orang bilang, buku adalah jendela dunia. Saya sangaat teringat dengan perkataan Buya Hamka(tidak persis sama): Saat
saya membaca seratus buku, maka saya menyalahkan orang yang berbeda
pandangan denganku. Tapi saat saya sudah membaca seratus buku, maka saya
melihat bahwa mereka juga memiliki argumen yang bagus.
Yah,
begitulah. Buku akan mempengaruhi cara berfikir kita dan cara pandang
kita terhadap sebuah objek. Biasanya memang orang yang sedikit membaca
buku itulah yang paling ngotot tentang pendapatnya. Berbagai corak dan
warna buku sekarang sudah beredar bebas di pasaran. Orang akan bebas
memilih dan mengambil buku saja yang dia anggap bagus. Orang yang senang
membaca buku Tasawuf, maka dia akan cenderung berfikir ala sufi. Yang
senang baca buku Fiqh, maka dia akan cenderung berfikir ala hakim. Orang
yang gandrung dengan buku tafsir akan cenderung berfikir ala mufassir.
Orang yang membaca buku Muhammadiyah akan cenderung berfikir ala
Muhammadiyah dst...
Bagaimana jika seorang membaca semua
jenis buku? Yang model seperti ini, kalau tidak menjadi orang yang
bijaksanan, maka dia akan menjadi orang yang bingung. hehe.
Yah
begitulah saudaraku tentang hal-hal yang mempengaruhi cara berfikir
kita terhadap sesuatu. Jadi jika muncul perbedaan di antara kita, maka
kita akan melihat bahwa perbedaan itu muncul karena kita memiliki guru
yang berbeda, memiliki lingkungan yang berbeda, dan memiliki rujukan
kitab yang berbeda pula. Semoga kelak kita bisa saling mengerti satu
sama lain terhadap perbedaan-perbedaan yang muncul di antara kita.
Amiin...
ADS HERE !!!