Ini
musim panas. Padang pasir menjadi bara. Tapi seruan jihad baru saja
dikumandangkan. Bala tentara Romawi akan datang melalui jalan di Syam.
Karena ini adalah seruan jihad, maka kurma-kurma yang ranum itu harus
ditinggalkan tanpa tawar. Biarkan dia berguguran ke bumi jika memang
harus berguguran. Biarkanlah bumi menelannya. Anggap saja itu adalah
santapannya, sementara darah-darah mujahid akan segera menjadi
minumannya. Biarkanlah panen kali ini ditinggalkan. Biarkanlah mereka
menunggu satu tahun lagi untuk bisa memanen kurma-kurma itu lagi.
Dalam
sejarah ini telah tercatat satu nama sahabat yang mulia, mulia hatinya.
Menyala semangatnya. Dialah Abu Dzarr al- Gifari. Ontanya yang
ditunggangi dalam perjalanan ke tabuk benar-benar telah lelah. Jalannya
pelan sekali sehingga dia tertinggal dari kafilah Rasulullah.
"Ya Rasulullah, Abu Dzarr teritnggalkan. Ontanya sudah tidak bisa lagi berjalan." Lapor salah seorang sahabat.
"Biarkanlah,
mereka yang tertinggal jika dia adalah orang baik maka Allah akan
menyusulkannya kepada kita." Jawab Rasulullah menenangkan.
Abu
Dzarr yang tertinggal itu menjadi gelisah. Ontanya semakin tak
bertenaga. Berhenti malah. Tapi dia tidak boleh ketinggalan dalam perang
ini. Dia tidak mau dicap sebagai orang munafik. Dia tahu bahwa tidak
ada orang yang tertinggal di Madinah kecuali orang munafik.Keputusanpun
diambilnya. Dia turun dari ontanya dan memboyong semua perlengkapan
perangnya di bahunya. Sesuatu yang pada mulanya hanya sanggup dibawah
oleh onta kini beralih di pundaknya. Dia berjalan tertatih-tatih nan
terseok-seok. Melintasi gurun pasir yang membara. Debu-debu gurun itu
seakan berdiri di hadapannya menghadang langkahnya. Sengatan matahari
itu juga membakar pori-pori kulitnya.
Tidak, ini adalah
seruan suci. Jika bisa menemukan syahid di jalan ini, maka surga telah
berada dalam genggaman, tanpa hisab pula. Maka tak boleh mundur walau
selangkahpun. Biarlah, biarlah debu gurun itu mengiringi langkahnya,
biarlah terik matahari itu memayungi, dan biarkan pasir-pasir gurun ini
membelai belai langkahnya. Karena janji Allah itu nyata. Maka Abu dzarr
menambah kecepatan langkahnya setelah menghibur dirinya. Untuk menggapai
kafilah Nabi, maka memang kecepatan harus dinaikkan.
Sendiri.
Maka sang Mujahid memang akan menemui banyak persoalan. Inilah sebanya
Nabi selalu memesankan kepada ummatnya agar senantiasa berjamaah. Tapi
inilah keutamaannya. Walau badai merayu, walau langkah mesti tertatih
dan walau aral melintang-bujur, jihad tetaplah jihad. Jika kau
tertinggalkan pendahulumu, kejarlah ia. Karena pendahulumu itu akan
menemukan alasan untuk beristirahat di persimpangan jalan. Dan itulah
momen kau bisa menggapainya. Seperti Nabi dan para sahabatnya yang
beristirahat. Menyahutlah salah seorang di antara mereka.
"Ya Rasulullah, seseorang di sana berjalan kaki sendirian."
"semoga itu adalah Abu Dzar." Jawab Baginda Nabi.
Semua
memperhatikan. Sesosok bayangan nun jauh di sana sedang berjalan
terseok-seok sementara beberapa beban berada di pundaknya. Semakin
dekat. Wajahnya jelas. Dia memang Abu Dzar al-Gifarii. Muka dan tubuhnya
berdebu dicampur peluh. Rasulullah kemudian berdo'a:
"Semoga
Allah merahmati Abu Dzar. Ia berjalan sendirian. Nati wafatnyapun akan
sendirian dan kelak dia akan dibangkitkan sendirian."
Dan engkau wahai mujahid, bangkitlah walau harus tertatih.
ADS HERE !!!