Mentari
di atas kepala saat kesumat mencipta bara. Pijarnya memancarkan
titik-titik api yang membakar sabar. Satu tikaman membunuhmu di jalan
setapak, lalu menaruhmu di alam terbuka, di bawah langit yang panas …
Wajah tawar itu tak tertawa, tak
menangis … tidak juga di antara keduanya. Tangan dinginnya teramat keji
menorehkan luka di dada kirimu, melukiskan wajah kelam angkara yang
murka …
Dan … sebilah pisau terpaku di dada
lengasmu. Karat-karatnya mencipta nanah dalam luka. Meracuni jantung dan
melemahkan degup-degupnya. Segala pahitnya menyertai gumpalan darah,
merahnya tak terpahami sebagaimana baunya yang teramat asing … kau pun
begitu pangling pada bunyi nafasmu …
Kau terkulai, terduduk ngilu di sudut
perih, tulang belakangmu bersandar pada tunggul yang mati. Tapi kau tak
mau bisu … perang belum usai, katamu, padahal tangan bekumu tak lagi
mampu menggenggam gaman, sementara mulutmu meluik warna setetes demi
setetes … warnanya merah tua, bahkan teramat tua, sebagaimana warna
kematian …
Rebahkan dirimu, biar mentari
mengeringkan lukamu, kataku … tapi kau tak mau terlelap sebelum
kujanjikan mimpi tentang pijar buana merdeka. Aku bersila menyusun kata,
memantapkan hati dari segala gamangnya, tersebab janji adalah ucapan
yang nirmala …
Melukai itu mewarnai, katamu, tiada beda
seperti jeritan elang dan rajawali. Aku berpaling mengorak sila,
tersebab senyummu diliputi selubung warna yang menyedihkan aku. Kafani
aku dengan rumput-rumput izkir, katamu lagi … lirih teramat lirih,
padahal tak pernah sekali pun kau berbisik. Aku terdiam, berharap angin
melelapkanmu …
Berembus, angin pun mengelus … satu daun
menamparku bersama suaramu yang sayup sampai di telingaku. Kuburkan aku
bersama dendamku di satu lahad, katamu … lalu maut pun menggamitkan
jari-jarinya ke jiwamu. Pupuslah hayatmu sementara khayalku mengejarmu
ke angkasa, tiada batas kecuali lelah …
Dan satu nyala meranggas daun, saat duka cita menginap di dada. Jantung berdetak ngilu di rumah duka …
ADS HERE !!!